Benteng Kuto Besak
Fakta menarik tentang museum ini adalah menghabiskan waktu selama 17 tahun untuk membangunnya, dimulai pada tahun 1780 dan diresmikan pada 21 Februari 1797. Ide pembangunan benteng ini dari Sultan Mahmud Badaruddin I (1724-1758). Benteng ini memiliki panjang 288,75 m, lebar 183,75 m, tinggi 9,99 m dan tebal 1,99 m. Terdapat pintu masuk di setiap sudut benteng ini, sisi masuk sebelah barat laut berbeda dengan ketiga sisi lainnya. Ketiga pintu masuk yang sama mereprentasikan karakteristik Benteng Kuto Besak. Anda dapat melihat Sungai Musidari pintu masuk utama, Lawang Kuto. Sedangkan pintu masuk di belakang pintu disebut lawang Buritan. Benteng ini ialah kebanggaan masyarakat Palembang karena merupakan benteng terbesar dan satu-satunya yang terbuat dari batu sebagai saksi keberhasilan mereka melawan bangsa Eropa.
Fakta menarik tentang museum ini adalah menghabiskan waktu selama 17 tahun untuk membangunnya, dimulai pada tahun 1780 dan diresmikan pada 21 Februari 1797. Ide pembangunan benteng ini dari Sultan Mahmud Badaruddin I (1724-1758). Benteng ini memiliki panjang 288,75 m, lebar 183,75 m, tinggi 9,99 m dan tebal 1,99 m. Terdapat pintu masuk di setiap sudut benteng ini, sisi masuk sebelah barat laut berbeda dengan ketiga sisi lainnya. Ketiga pintu masuk yang sama mereprentasikan karakteristik Benteng Kuto Besak. Anda dapat melihat Sungai Musidari pintu masuk utama, Lawang Kuto. Sedangkan pintu masuk di belakang pintu disebut lawang Buritan. Benteng ini ialah kebanggaan masyarakat Palembang karena merupakan benteng terbesar dan satu-satunya yang terbuat dari batu sebagai saksi keberhasilan mereka melawan bangsa Eropa.
Museum
Sultan Mahmud Badaruddin II
Museum Sultan Mahmud Badaruddin
II yang
berada di seberang Sungai Musi ini memiliki bentuk asli bangunan
tidak berubah dari masa awal pendiriannya. Lokasinya di Jalan Sultan Mahmud
Badaruddin II No. 2, Palembang.
Di
museum ini Anda dapat menikmati sekitar 556 koleksi benda bersejarah, mulai
dari bekas peninggalan kerajaan Sriwijaya hingga Kesultanan Palembang. Nama
Sultan Mahmud Badaruddin II dijadikan nama museum ini untuk menghormati jasanya
bagi kota Palembang.
Museum
ini berdiri di atas bangunan Benteng Koto Lama (Kuto Tengkurokato Kuto Batu)
dimana Sultan Mahmud Badaruddin Jayo Wikramo dan Sultan Mahmud Badaruddin I
(1724-1758) memerintah. Berdasarkan penyelidikan oleh tim arkeologis tahun
1988, diketahui bahwa pondasi Kuto Lama ditemukan di bawah balok kayu.
Benteng
ini pernah habis dibakar oleh Belanda pada 17 Oktober 1823 atas perintah I.L.
Van Seven House sebagai balas dendam kepada Sultan yang telah membakar Loji Aur
Rive. Kemudian di atasnya dibangun gedung tempat tinggal Residen Belanda. Pada
masa Pendudukan Jepang, gedung ini dipakai sebagai markas Jepang dan
dikembalikan ke penduduk Palembang ketika proklamasi tahun 1945. Museum
ini direnovasi dan difungsikan sebagai markas Kodam II/Sriwijaya hingga
akhirnya menjadi museum dan
Jam
berkunjung museum ini adalah Senin hingga Kamis: 08.00
– 16.00 WIB,Jumat: 08.00
– 11.30; serta Sabtu dan Minggu: 09.00
– 16.00. Untuk hari libur nasional akan tutup.
Pulau Kemarau
Pulau Kemarau berada di
delta Sungai Musi. Nama Pulau Kemarau diberikan penduduk setempat karena delta
ini selalu kering dan tidak pernah berair, bahkan ketika air pasang,
seolah-olah seperti sebuah pulau terapung.
Pulau ini adalah tempat yang sangat spesial bagi etnis Cina lokal. Di pulau ini, ada pagoda dan kuil-kuil. Keberadaannya berkaitan erat dengan sebuah legenda yang mengatakan bahwa delta muncul sebagai bukti cinta Putri Siti Fatimah (putri Raja Sriwijaya) kepada kekasihnya. Kisahnya mirip dengan Romeo dan Juliet, atau Sampek Eng Tay.
Legenda ini dimulai pada akhir abad ke-14 ketika seorang pangeran dari Cina, Tan Bu An, datang ke Palembang untuk belajar. Setelah tinggal di sini selama beberapa waktu, ia jatuh cinta dengan putri Siti Fatimah. Dia kemudian datang ke istana untuk melamarnya. Orangtua Siti Fatimah memberikan persetujuan namun dengan satu syarat; Tan Bu An harus memberikan hadiah.
Tan Bu An kemudian mengutus bawahannya untuk kembali ke China dan meminta semacam hadiah dari ayahnya untuk diberikan kepada Raja. Segera setelah itu, utusan itu kembali dengan sayuran dan buah-buahan. Tan Bu An terkejut dan marah karena ia berharap ayahnya memberikan guci Cina, keramik dan uang.
Dia melemparkan muatan kapal tersebut ke Sungai Musi, dia tidak tahu bahwa sebenarnya ayahnya menaruh uang di dalam sayuran dan buah-buahan tersebut. Karena dia malu setelah mengetahui tentang kesalahannya, dia mengumpulkan yang telah dibuangnya ke sungai dan Tan Bu An tidak pernah kembali lagi karena ia tenggelam bersama dengan sayuran dan buah-buahan tersebut.
Ketika Siti Fatimah mendengar tentang tragedi itu, dia berlari ke sungai dan menenggelamkan diri untuk mengikuti kekasihnya. Sebelum itu, dia meninggalkan pesan: "Jika Anda melihat sebuah pohon tumbuh di sebidang tanah di mana aku tenggelam, ini akan menjadi pohon cinta kita".
Sang putri kemudian tenggelam dan kemudian sebidang tanah muncul di permukaan sungai. Masyarakat setempat percaya bahwa ini adalah makam pasangan kekasih tersebut dan karena itu, mereka menyebutnya "Pulau Kemarau" yang berarti meskipun air pasang di Sungai Musi, pulau ini akan selalu kering.
Etnis Tionghoa setempat percaya bahwa nenek moyang mereka, Tan Bun An, tinggal di pulau ini. Oleh karena itu, daerah ini selalu ramai selama Tahun Baru Cina. Pada tahun 2006, pagoda dibangun sebagai tempat ibadah dan untuk acara lainnya.
Pulau ini adalah tempat yang sangat spesial bagi etnis Cina lokal. Di pulau ini, ada pagoda dan kuil-kuil. Keberadaannya berkaitan erat dengan sebuah legenda yang mengatakan bahwa delta muncul sebagai bukti cinta Putri Siti Fatimah (putri Raja Sriwijaya) kepada kekasihnya. Kisahnya mirip dengan Romeo dan Juliet, atau Sampek Eng Tay.
Legenda ini dimulai pada akhir abad ke-14 ketika seorang pangeran dari Cina, Tan Bu An, datang ke Palembang untuk belajar. Setelah tinggal di sini selama beberapa waktu, ia jatuh cinta dengan putri Siti Fatimah. Dia kemudian datang ke istana untuk melamarnya. Orangtua Siti Fatimah memberikan persetujuan namun dengan satu syarat; Tan Bu An harus memberikan hadiah.
Tan Bu An kemudian mengutus bawahannya untuk kembali ke China dan meminta semacam hadiah dari ayahnya untuk diberikan kepada Raja. Segera setelah itu, utusan itu kembali dengan sayuran dan buah-buahan. Tan Bu An terkejut dan marah karena ia berharap ayahnya memberikan guci Cina, keramik dan uang.
Dia melemparkan muatan kapal tersebut ke Sungai Musi, dia tidak tahu bahwa sebenarnya ayahnya menaruh uang di dalam sayuran dan buah-buahan tersebut. Karena dia malu setelah mengetahui tentang kesalahannya, dia mengumpulkan yang telah dibuangnya ke sungai dan Tan Bu An tidak pernah kembali lagi karena ia tenggelam bersama dengan sayuran dan buah-buahan tersebut.
Ketika Siti Fatimah mendengar tentang tragedi itu, dia berlari ke sungai dan menenggelamkan diri untuk mengikuti kekasihnya. Sebelum itu, dia meninggalkan pesan: "Jika Anda melihat sebuah pohon tumbuh di sebidang tanah di mana aku tenggelam, ini akan menjadi pohon cinta kita".
Sang putri kemudian tenggelam dan kemudian sebidang tanah muncul di permukaan sungai. Masyarakat setempat percaya bahwa ini adalah makam pasangan kekasih tersebut dan karena itu, mereka menyebutnya "Pulau Kemarau" yang berarti meskipun air pasang di Sungai Musi, pulau ini akan selalu kering.
Etnis Tionghoa setempat percaya bahwa nenek moyang mereka, Tan Bun An, tinggal di pulau ini. Oleh karena itu, daerah ini selalu ramai selama Tahun Baru Cina. Pada tahun 2006, pagoda dibangun sebagai tempat ibadah dan untuk acara lainnya.
0 komentar:
Posting Komentar